Keadilan Ilahi

Mukaddimah
Sepanjang pelajaran-pelajaran yang lalu tampak banyak ikhtilaf di antara dua mazhab Kalam, yaitu Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam berbagai masalah. Di antaranya, masalah kalam Allah, iradah Allah, Tauhid Sifati, Determinasi dan Kehendak Bebas, Qadha dan Qadar. Kita pun melihat betapa pandangan dua mazhab tersebut mengesankan sikap ifrat dan tafrit.
Salah satu ikhtilaf mendasar di antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah ialah masalah Keadilan Ilahi. Di sini, kita temukan bagaimana Syi’ah sejalan dengan Mu’tazilah. Kedua mazhab ini dikenal juga dengan ‘Adliyah, sebagai lawan dari Asy’ariyah. Mengingat pentingnya masalah ini, masalah ini dianggap sebagai masalah pokok di dalam ilmu Kalam. Bahkan masalah ini dianggap sebagai masalah ushulul ‘aqaid dan termasuk keistimewaan yang dimiliki oleh madzhab Syi’ah dan Mu’tazilah. Perlu diketahui bahwa madzhab Asy’ariyah juga sebenarnya tidak menolak keadilan Ilahi. Mereka tidak menilai bahwa Allah SWT itu zalim, na’udzubillah. Karena sesungguhnya ayat-ayat Al-Qur’an yang jelas yang tidak perlu ditakwil menetapkan adanya keadilan Ilahi dan menafikan berbagai macam kezaliman dari-Nya.
Akan tetapi, pembahasan dalam tema ini berkisar tentang apakah akal manusia—tanpa bersandar kepada Al-Qur’an dan Sunnah—dapat mengetahui dasar-dasar untuk suatu perbuatan, khususnya perbuatan Allah, yang atas dasar tersebut mengharuskan seseorang agar melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Misalnya, akal dapat menghukumi bahwa Allah SWT itu mesti memasukkan kaum mukmin ke dalam surga dan kaum kafir ke dalam neraka. Ataukah hukum-hukum seperti ini tidak dapat dipahami kecuali dengan bersandar kepada wahyu Ilahi, yang tanpanya akal tidak dapat menyatakan hukum-hukum tersebut?
Dengan demikian, masalah utama yang diperdebatkan adalah yang diistilahkan dengan baik dan buruk akli (husn wa kubh aqli). Asy’ariyah mengingkari hal tersebut. Mereka berkeyakinan bahwa segala hal penciptaan yang dilakukan Allah adalah kebaikan, dan hukum apa saja yang disyariatkan oleh-Nya adalah kebaikan. Bukan lantaran perbuatan itu baik lalu Allah memerintahkan untuk dilakukan atau ditinggalkan.
Adapun madzhab ‘Adliyah meyakini bahwa segala perbuatan, terlepas dari kaitan penciptaan dan pensyariatannya pada Allah, pada dirinya sendiri bersifat baik atau buruk. Pada batas-batas tertentu, Akal mampu menjangkau kebaikan dan keburukan suatu perbuatan serta menyucikan dzat Allah dari melakukan perbuatan buruk. Pengetahuan akal ini tidak berarti bahwa akal—na’udzubillah—memerintah Allah atau mencegah-Nya. Maksud di atas ini ialah bahwa akal dapat mengetahui kesesuaian atau tidaknya suatu perbuatan dengan sifat-sifat sempurna Allah. Karenanya, ‘Adliyah meyakini kemustahilan dilakukannya perbuatan buruk oleh Allah SWT.
Jelas bahwa pengkajian terperinci atas tema-tema ini dan jawaban atas kritik serta keraguan yang dilontarkan oleh madzhab Asy’‘âriyah—dalam mengingkari baik dan buruk akli dan berhadapan dengan ‘Adliyah—tidaklah sesuai dengan kapasitas buku ini. Begitu pula, sangat mungkin terdapat beberapa kelemahan pada Mu’tazilah yang perlu diurai dan dikritisi. Akan tetapi, keyakinan dasar terhadap baik dan buruk akli itu telah diterima oleh Syi’ah. Akan tampak bahwa hal itu didukung oleh Al-Qur’an, hadis Nabi saw dan sabda para imam maksum as.
Oleh karena itu, terlebih dahulu kami akan menjelaskan pengertian adil atau keadilan. Lalu, kami akan menjelaskan dalil-dalil rasional atas sifat adil tersebut yang termasuk sifat-sifat fi’liyah Allah. Pada bagian akhir, kami akan mengkritisi keraguan-keraguan penting dalam masalah ini dan memberikan jawabannya.
Arti Keadilan
Keadilan secara leksikal berarti sama dan menyamakan. Dan menurut pandangan umum, keadilan yaitu menjaga hak-hak orang lain. Keadilan merupakan lawan kezaliman yang berarti merampas hak-hak orang lain. Atas dasar ini, definisi keadilan ialah memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Maka itu, pertama kita harus mempunyai gambaran adanya pihak yang mempunyai hak sehingga dapat dikatakan bahwa menjaga haknya merupakan keadilan dan merampas haknya adalah kezaliman.
Akan tetapi, terkadang pengertian adil ini lebih diperluas lagi dan digunakan dengan makna: menempatkan sesuatu pada tempatnya atau mengerjakan segala sesuatu dengan baik. Berdasarkan definisi ini, keadilan sinonim dengan bijakasana. Maka, perbuatan yang adil yaitu perbuatan yang bijak. Adapun bagaimana hak orang yang berhak dan posisi semestinya setiap sesuatu itu dapat ditentukan, pembahasan persoalan ini sangat luas dan merupakan bagian yang penting dalam pembahasan Filsafat Etika dan Filsafat Hukum yang tidak mungkin dapat kita bahas pada kesempatan ini.
Yang perlu kami tekankan di sini adalah bahwa setiap orang yang berakal pasti mengetahui bahwa apabila seseorang itu merampas sepotong roti dari seorang anak yatim tanpa alasan yang jelas, atau menumpahkan darah orang lain yang tidak bersalah, berarti ia telah melakukan kezaliman dan melakukan tindakan yang buruk.
Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang mengambil kembali sepotong roti yang telah diambil dari seorang pencuri, kemudian mengembalikannya kepada anak yatim atau ia memberikan sanksi atas pembunuh yang berbuat jahat sesuai dengan kejahatannya, berarti ia telah berbuat baik dan benar.
Sesungguhnya penilaian terhadap kebaikan dan keburukan, keadilan dan kezaliman ini tidak bergantung kepada perintah dan larangan Allah, sebab penilaian ini dapat dipahami sekalipun oleh orang yang tidak beriman kepada wujud Allah SWT. Adapun apa sebenarnya dasar hukum tersebut, dan kekuatan indra apa yang dapat mengetahui kebaikan dan keburukan perbuatan, adalah bagian masalah Filsafat.
Dengan demikian, keadilan dapat didekatkan dengan dua pengertian: pengertian khusus dan pengertian umum. Yang pertama ialah menjaga hak-hak orang lain, dan yang kedua adalah keluarnya suatu perbuatan dengan cara hikmah di mana menjaga hak-hak orang lain termasuk bagian dari mishdaq-nya (instanta). Berdasarkan hal itu, maka adil bukan berarti memberikan secara sama kepada seluruh umat manusia atau di antara segala sesuatu. Seorang guru yang adil bukanlah yang memiliki sikap yang sama terhadap seluruh anak didiknya, sehingga ia menyamakan seluruhnya dalam hal memberikan teguran dan pujian baik kepada anak didiknya yang rajin maupun yang malas. Seorang hakim yang adil bukanlah yang membagi harta yang dipertikaikan itu secara sama antara orang yang bertikai. Seorang guru yang adil adalah yang memuji setiap anak didiknya dan juga memberikan peringatan kepada mereka sesuai dengan hak-haknya. Hakim yang adil adalah hakim yang mengembalikan harta yang dipertikaikan kepada yang berhak.
Demikian pula, sesuai dengan Hikmah dan Keadilan Ilahi, Allah SWT tidak menciptakan seluruh makhluk-Nya dalam bentuk yang sama, misalnya Allah menciptakan manusia bertanduk atau bersayap dan sebagainya. Akan tetapi, Dia menciptakan alam semesta dalam bentuk yang terukur sehingga dapat terealisasi kebaikan dan kesempurnaan. Allah SWT menciptakan segenap makhluk-Nya dalam bentuk yang serasi antara bagian-bagiannya dengan tujuannya yang terakhir.
Demikian pula sesuai dengan Hikmah dan Keadilan Ilahi, Allah membebankan tugas (taklif) kepada setiap manusia sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dan Dia pun memutuskan suatu hukum sesuai dengan kemampuan dan kehendak bebas mereka, serta memberikan balasan, baik berupa pahala atau siksa yang setimpal dengan tiap-tiap perbuatan mereka. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan membebani manusia sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
“Dan akan diputuskan kepada mereka itu suatu tugas hukum dengan keadilan dan tidak dizalimi sedikit pun.” (QS. Yunus: 54)
“Maka pada hari kiamat tidak dizalimi seorang pun dan tidak diberikan balasan terhadap apa yang mereka lakukan melainkan sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat.” (QS.Yasin: 54)
Dalil atas Keadilan Ilahi
Telah kami katakan bahwa Keadilan Ilahi merupakan salah satu mishdaq Hikmah Ilahiyah. Berdasarkan salah satu penafsiran, keadilan adalah Hikmah Ilahiyah itu sendiri. Tentunya, dalil yang digunakan untuk menetapkan Keadilan Ilahi adalah dalil yang juga digunakan untuk menetapkan Hikmah Ilahiyah, seperti yang telah dibahas pada pelajaran 11. Di sini kami akan mengulanginya secara lebih terrinci.
Pada pelajaran yang lalu telah kita ketahui bahwa Allah SWT memiliki tingkat kekuasaan yang paling tinggi dan sempurna, bahwa Dia Mahamampu untuk melakukan pekerjaan apa saja yang mungkin terjadi, atau tidak melakukannya tanpa tunduk pada pengaruh apapun dan tanpa dipaksa oleh selainnya. Akan tetapi, Allah SWT tidak melakukan segala apa yang Ia mampu untuk melakukannya, melainkan Dia hanya melakukan sesuatu yang Ia kehendaki.
Telah kita ketahui pula bahwa kehendak Allah SWT tidaklah sia-sia dan main-main. Hanya saja Dia tidak menghendaki sesuatu kecuali sesuai dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Apabila sesuatu itu tidak sesuai dengan sifat-sifat kesempurnaan, maka sesuatu itu tidak akan terjadi dan tidak akan Allah lakukan sama sekali, karena Dia adalah kesempurnaan yang mutlak dan murni, maka kehendak-Nya pun hanya berurusan dengan sisi kesempurnaan dan kebaikan makhluknya saja. Apabila keberadaan suatu makhluk melazimkan sebagian keburukan atau kekurangan, maka sisi keburukan itu tidak dimaksudkan secara mendasar, akan tetapi hanya merupakan efek, sebab kehendak Allah secara mendasar hanya berurusan dengan kebaikan.
Dengan demikian, sesuai dengan sifat-sifat Ilahi yang sempurna, Allah SWT menciptakan alam semesta ini dalam bentuk yang sesempurna dan sebaik mungkin. Dari sinilah kita dapat menetapkan tentang sifat hikmah pada Allah SWT. Maka itu, kehendak Ilahiyah itu hanyalah berurusan dengan penciptaan manusia dari sisi wujudnya yang mungkin (mumkinul wujud), yang merupakan sumber kebaikan sebanyak mungkin.
Sebuah keistimewaan utama yang dimiliki oleh manusia adalah kehendak dan usaha bebasnya. Tidak syak lagi bahwa kekuatan berkehendak dan berusaha merupakan kesempurnaan manusia, dan bahwa orang yang memilikinya dianggap lebih utama ketimbang orang yang tidak memilikinya. Akan tetapi, kelaziman kehendak bebas manusia ialah bahwa ia mampu melakukan berbagai perbuatan yang baik yang dapat menyampaikannya kepada puncak kesempurnaan, juga ia mampu melakukan perbuatan yang buruk sehingga ia akan menderita kerugian dan kecelakaan yang abadi.
Tentunya, sesuatu yang secara mendasar berkaitan dengan kehendak Ilahiyah adalah proses kesempurnaan manusia. Hanya saja proses kesempurnaan manusia membuka kemungkinan bahwa ia pun bisa gagal lantaran mengikuti hawa nafsu dan keinginan-keinginan setan. Oleh karena itu, kehendak Ilahiyah pun berhubungan secara kausal dengan kegagalan usaha bebas umat manusia.
Karena usaha yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan perasaan itu membutuhkan pengetahuan yang benar akan jalan-jalan kebaikan dan keburukan, Allah memerintahkan umat manusia untuk melakukan sesuatu yang mengandung kebaikan dan kemaslahatan baginya dan mencegah dari apa saja yang membawanya kepada kerusakan, penyelewengan serta kemunduran. Oleh karena itu, Allah SWT memenuhi segala kebutuhan untuk usaha-usaha kesempurnaan.
Selain itu, karena tugas-tugas Ilahi disyariatkan atas manusia untuk tujuan menyampaikan mereka kepada hasil dari pengamalan tugas-tugas Ilahi tersebut, maka itulah tugas-tugas tersebut harus sesuai dengan kemampuan mereka. Oleh karena itu, tugas yang tidak mungkin dilakukan adalah sia-sia dan tak berarti.
Atas dasar itu, tingkat pertama bagi keadilan (dalam pengertian khusus) yaitu keadilan dalam hal penetapan tugas, dapat dibuktikan dengan argumen sebagai berikut: yaitu bahwa jika Alah SWT menetapkan tugas ke atas hamba-Nya yang ia tidak mampu untuk melakukannya, tugas itu tidak mungkin dilakukan dan menjadi penetapan yang sia-sia.
Adapun keadilan dalam hal mengadili hamba-hamba dapat dibuktikan sebagai berikut: yaitu bahwa pengadilan dapat dilakukan oleh Allah untuk menentukan orang-orang yang berhak menerima pahala atau azab.Apabila pengadilan tersebut bertentangan dengan keadilan, itu melazimkan adanya kekurangan dan bertentangan dengan tujuan-Nya.
Kemudian keadilan dalam hal memberi pahala atau siksa dapat dibuktikan dengan memperhatikan tujuan puncak penciptaan. Bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan bertujuan untuk menyampaikan mereka kepada hasil-hasil usaha mereka, baik usaha yang baik maupun yang buruk. Jika memberi pahala dan siksa itu tidak setimpal dengan perbuatan mereka, tujuan penciptaan itu tidak terpenuhi.
Dengan demikian, dalil atas keadilan Allah dengan arti yang sesungguhnya dan pada semua tingkatnya ialah bahwa sifat-sifat dzatiyah Allah SWT menuntut tindakan-Nya itu pasti adil dan bijaksana, dan tidak terdapat satu sifat pada-Nya yang melazimkan kezaliman atau kesia-siaan.
Beberapa Keraguan dan Jawaban
Keraguan Pertama
Bagaimana mungkin berbagai perbedaan pada makhluk Allah, khususnya manusia, itu bisa sesuai dengan Keadilan dan Hikmah Ilahiyah? Dan mengapa Allah Yang Mahaadil dan Bijak tidak menciptakan seluruh makhluk-Nya dalam bentuk yang sama?
Jawab: perbedaan yang terdapat pada makhluk-makhluk Allah SWT di alam ini adalah suatu hal yang pasti terjadi sesuai dengan tata cipta-Nya dan tunduk kepada hukum sebab akibat yang menguasai tata cipta itu. Asumsi persamaan pada ciptaan Allah merupakan asumsi yang dangkal dan sia-sia. Kalau kita pikirkan baik-baik, akan kita ketahui bahwa asumsi semacam itu berarti meninggalkan ciptaan, karena apabila seluruh manusia itu adalah laki-laki atau perempuan semuanya, maka tidak akan terealisasi kelahiran dan keturunan dan pasti akan habis manusia di muka bumi ini. Dan apabila semua makhluk Allah itu adalah manusia saja, tidak akan didapati bahan makanan atau hal-hal lain yang dapat memenuhi kebutuhan manusia.Dan seandainya seluruh makhluk Allah itu adalah hewan atau satu macam tumbuhan yang mempunyai warna dan sifat-sifat yang satu pula, maka tidak akan ditemukan adanya karunia dan manfaat-manfaat yang banyak, dan tidak akan didapati pula pemandangan yang indah.
Adanya fenomena semacam ini, yaitu bentuk dan sifat yang beragam, merupakan kelaziman faktor-faktor dan syarat-syarat yang dapat terpenuhi sesuai dengan proses perubahan dan dan pergantian materi, dan tidak seorang pun—sebelum ia diciptakan—mempunyai hak untuk mengatur penciptaan Allah SWT atas dirinya, yaitu menuntut agar Dia menciptakannya dalam bentuk, tempat dan zaman tertentu saja, sehingga terdapat peluang untuk keadilan dan kezaliman.
Keraguan Kedua
Apabila Hikmah Ilahiyah itu menuntut hidupnya manusia di alam dunia ini, namun mengapa setelah itu Allah mematikan manusia dan mengakhiri hidupnya?
Jawab: pertama, kehidupan dan kematian segala sesuatu di dunia ini sebenarnya tunduk pada hukum alam (takwini) dan sebab-akibat, serta merupakan kemestian bagi tata cipta alam ini.
Kedua, apabila seluruh makhluk hidup ini tidak mengalami kematian, tidak akan ada lahan untuk makhluk-makhluk hidup yang akan datang. Dengan demikian, generasi berikutnya tidak mendapatkan kehidupan.
Ketiga, apabila kita berasumsi bahwa kehidupan manusia ini berlangsung abadi, maka tidak akan berlalu masa yang panjang kecuali kita akan melihat permukaan bumi ini dipenuhi oleh umat manusia, dan bumi akan menjadi sempit dengan keberadaan mereka, sehingga setiap manusia akan mengharapkan kematian karena beratnya menanggung rasa lapar, sakit dan kelelahan.
Keempat, sesungguhnya tujuan utama diciptakannya manusia adalah untuk kebahagiaan yang abadi dan hakiki. Jika manusia tidak dipindahkan dari kehidupan dunia ke kehidupan lainnya (akhirat) melalui kematian, tujuan utama untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki tersebut tidak akan terealisasi.
Keraguan Ketiga
Kejadian berbagai penyakit dan bencana alam seperti banjir, gempa bumi serta adanya patologi-patologi sosial seperti kezaliman dan peperangan, bagaimana bisa sesuai dengan Keadilan Ilahi?
Jawab: pertama, gejala-gejala dan bencana alam yang menyakitkan itu merupakan kelaziman dari perbuatan-perbuatan yang bersifat materi, dimana benda-benda itu saling berinteraksi, bergesekan dan berbenturan. Mengingat bahwa kebaikan gejala-gejala tersebut lebih banyak daripada keburukannya, hal itu tidak bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah. Demikian pula, krisis sosial sebenarnya muncul lantaran usaha manusia. Usaha ini sesuai dengan Hikmah Ilahiyah. Hanya yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa manfaat dari kehidupan sosial dan hal-hal yang positif sebenarnya lebih banyak daripada kerugiannya. Seandainya kerugian itu lebih banyak, tentu tidak akan ada lagi manusia di muka bumi ini.
Kedua, kejadian berbagai macam bencana dan musibah tersebut, di satu sisi akan mendorong manusia untuk mencari rahasia dan sebab-sebab alami, serta berusaha untuk mengungkapnya. Dengan demikian, akan lahir pengetahuan, penemuan, serta produk-produk yang berbagai macam. Di sisi lain, ihwal menghadapi bencana-bencana tersebut lalu berusaha untuk mencari jalan keluarnya berperan besar dalam menggali dan mengembangkan potensi manusia, serta dalam mencapai kesempurnaan umat manusia itu sendiri demi peningkatan dan kemajuan hidup. Sehingga pada akhirnya, akan timbul ketabahan dalam menanggung beban penyakit dan musibah tersebut. Apabila ketabahan itu dilandasi oleh alasan-alasan yang benar dan sesuai dengan syariat, hal itu akan mendatangkan pahala yang abadi di akherat kelak. Ketabahan itu tidak akan sia-sia, bahkan ia akan diimbal dengan ganjaran yang lebih mulia dan berlipat ganda.
Keraguan Keempat
Bagaimana siksa Allah yang bersifat abadi atas dosa-dosa yang sekejap dilakukan oleh pelaku-pelakunya di alam dunia ini bisa selaras dengan Keadilan Ilahi?
Jawab: Sebenarnya ada hubungan sebab-akibat antara perbuatan yang baik atau buruk dan antara pahala atau siksa akhirat, sebagaimana yang diungkap oleh wahyu, dan manusia pun telah diingatkan akan hal itu. Sebagaimana kita perhatikan di alam dunia ini adanya kejahatan yang pengaruhnya berlangsung dalam waktu yang cukup panjang, walaupun kejahatan tersebut bersifat sementara atau sesaat saja. Misalnya, jika seseorang menciderai mata orang lain sampai buta, atau ia mencederai matanya sendiri. Perbuatan semacam ini terjadi sekejap saja, akan tetapi akibatnya berlangsung terus sepanjang usianya.
Demikian pula, dosa-dosa besar berpengaruh pada nasib buruk ukhrawi yang bersifat abadi. Jika kemudian pelaku dosa itu tidak melakukan cara yang dapat menghapusnya (seperti taubat), keadaannya ini akan berdampak buruk selama-lamanya, sebagaimana kebutaan seseorang sampai akhir hayatnya hanya lantaran perbuatannya yang sekejap saja. Ini semua tidak menentang Keadilan Ilahi. Demikian pula azab Ilahi yang abadi itu merupakan akibat dari dosa-dosa besar. Juga hal ini tidak mengabaikan keadilan Ilahi, karena ia merupakan dampak dari dosa yang dilakukan pelakunya atas dasar kesadarannya.[]
KONSEP KEADILAN DALAM AL-QURAN
(sebuah telaah al-adaabi wal ijtimaa`I)

Allah berfirman dalam Al-quran: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran".( QS An-Nahl{16}: 90)

Dalam kitab suci Al-Quran digunakan beberapa term/istilah yang digunakan
untuk mengungkapkan makna keadilan. Lafad-lafad tersebut jumlahnya banyak
dan berulang-ulang. Diantaranya lafad "al-adl" dalam Al-quran dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 35 kali. Lafad "al-qisth" terulang sebanyak 24 kali. Lafad "al-wajnu" terulang sebanyak 23 kali. Dan lafad "al-wasth" sebanyak 5 kali (Muhamad Fu`ad Abdul Bagi dalam Mu`jam Mupathos Lialfaadhil Qur`an).

Dr. Hamzah Yakub membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian. 
Adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan. 
      Adil perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak, bila seseorang mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa menguranginya itulah yang dinamakan tidak adil. 
      Adil dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang menghukum orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika hakim menegakan neraca keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang adil dan jika dia berat sebelah maka dipandanglah dia zalim. Pemerintah dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di kota-kota maupun di desa-desa.

Allah berfirman dalam Al-Quran: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Al-Maidah [5] : 8)

Keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia. (Nurcholish Majid).

Sebagai gambaran dari keadilan Rasululah saw memberi contoh kepada kita, kalau beliau ingin pergi jauh beliau undi antara isteri-isterinya. Siapa yang kena undian maka itulah yang dibawanya. Sebagai kepala negara dan hakim, beliau selalu menerapakan keadilan dengan betul, hingga beliau pernah menyatakan: "Jika sekiranya Fatimah binti Muhamad mencuri, niscaya aku potong tangannya". (HR. Bukhori).

Ada beberapa faktor yang menunjang keadilan, diantaranya:
a. Tentang di dalam mengambil keputusan. Tidak berat sebelah dalam tindakan
karena pengaruh hawa nafsu, angkara murka ataupun karena kecintaan kepada seseorang. Rasululah saw dalam salah satu sabdanya mengingatkan agar janganlah seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah. Emosi yang tidak stabil biasanya seseorang tidak adil dalam putusan.
b. Memperluas pandangan dan melihat persoalannya secara obyektif.
Mengumpulkan data dan fakta, sehingga dalam keputusan seadil mungkin.

Jika adil adalah sifat dan sikap Fadlilah (utama) maka sebagai kebalikannya adalah sikap zalim. Zalim berarti menganiaya, tidak adil dalam memutuskan perkara, berarti berat sebelah dalam tindakan, mengambil hak orang lain lebih dari batasnya atau memberikan hak orang lain kurang dari semestinya.
Sikap zalim itu diancam Allah dalan firmannya: "Tidakkah bagi orang zalim itu sahabat karib atau pembela yang dapat ditakuti". (Al-mu`min : 18).

Dalam ayat lain Allah berfirman lagi : "Dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun".(Ali Imran[3] : 192).

Dalam hal ini, ahli-ahli akhlak mengemukakan hal-hal yang mendorong seseorang berlaku zalim:
a. Cinta dan benci. Barang siapa yang mencintai seseorang, biasanya ia berlaku berat sebelah kepadanya. Misalnya orang tua yang karena cinta kepada anak-anaknya, maka sekalipun anaknya salah, anak itu dibelanya. Demikian pula kebencian kepada seseorang, menimbulkan satu sikap yang tidak lagi melihat kebaikan orang itu, tetapi hanya menonjolkan kesalahannya.
b.  Kepentingan diri sendiri. Karena perasaan egois dan individualis, maka keuntungan pribadi yang terbayang menyebabkan seseorang berat sebelah, curang dan culas.
c.  Pengaruh luar. Adanya pandangan yang menyenangkan, keindahan pakaian,kewibawaan, kepasihan pembicaraan dan sebagainya dapat mempengaruhi seseorang berat sebelah dalam tindakannya. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat menyilaukan perasaan sehingga langkahnya tidak obyektif.

Oleh karena itulah, bisa disimpulkan bahwa keadilan dan kezaliman bisa muncul karena adanya beberapa faktor, diantaranya:
a. Kondisi orang tersebut pada saat itu
b. Luas dan sempitnya pengetahuan yang dimiliki
c. Latar belakan cinta dan benci
d. Terdorong oleh kepentingan sendiri atau golongan
e. Adanya pengaruh dari luar (extern)

KEHENDAK MUTLAK TUHAN DAN KEADILAN TUHAN

Faham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam, bergantung pada pandangan apakah manusia mempunyai kebebaasn dalam berkehendak dan berbuat ? Ataukah manusia itu hanya terpaksa saja ?Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia menyebabkan perbedaan penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya.
1. Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya, kemudian mengharuskan hamba itu untuk menanggung akibat perbuatannya. Dengan demikian manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaaan sedikit pun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah manusia dapat bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hambanya tanpamengiringinya dengan kebebasan dalam berbuat.
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah adalah:

Al-Anbiya (21) : 47 "Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika amalan itu hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan pahalanya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan"

Yasin (36) :54 "Maka pada hari itu orang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalas, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan"

Fusshilat (41) :46 "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat, maka dosany atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya"

An-Nisa (4) : 40  "Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar biji zarrah niscaya allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar”

dan Kahfi (18) : 49. "Dan diletakkan kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis didalamnya, dan mereka berkata ;”aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka ketrjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun"

2. Aliran Asy’ariyah
Asy’ariyah percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekauasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan kerena kepentingan manusia atau tujuan lainnya. Mereka mengartikan keadilan tuhan dengan menempatkan sesuatu paad tempatnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhaap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikia, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehendak hatinya. Tuhan dapat memberi pahala atau memberi siksa dengan sekehendak hatinya dan itu semua adalah adil bagi Tuhan.Justru tidaklah adil jika Tuhan tidak berbuat sekehenadknya, karena Dia adalah penguasa mutlak.

3. Aliran Maturidiyah
Dalam hal keadilah dan kehendak Tuhan, Aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Karena menganut faham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, kaum maturidiyah samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat dengan Mu’tazilah, tapi kekuatan akan dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil dari paad yang diberikan Mu’tazilah. Kehendak Tuhan dibatasi oleh keadilah Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuiatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak akan memberi bebean yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukuman, karena Tuhan tidakn dapat berbuat zalim.
Adapun Maturidiyah bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekauasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendakinya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, keadilan Tuhan terletak paad kehendak mutlaknya, tidak ada satu zat pun yang lebih kuasa dari pada-Nya dan tidak ada batasan bagi-Nya.



Baca Juga Artikel Di Bawah Ini:

Komentar Facebook
0 Komentar Blogger
Twitter

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Ayo tinggalkan jejak anda berupa komentar disini !!! karena komentar anda sangat berarti sekali demi kemajuan blog ini.

Panduan Memberi Komentar
1.Masukan komentar anda
2.Lalu pada kata 'beri komentar sebagai' , pilih account yang anda punya, bagi yang belum mempunyai account pilih Name/url, isi nama anda dan Kosongkan URL atau isi dengan alamat facebook anda(untuk mengetahui alamat facebook anda silahkan login ke facebook dan pilih profile anda, anda dapat melihat alamat Facebook anda di atas, contoh alamat Facebook punya saya http://www.facebook.com/profile.php?id=1823916177
3.dan kemudian Publikasikan
4.Selesai dan anda tinggal menunggu komentar anda muncul
Semoga bermanfa'at.

 
Selamat Datang di www.gudangmaterikuliah.blogspot.co.id(Kumpulan Materi Kuliah Jurusan PAI/Pendidikan Agama Islam). Terima Kasih Atas Kunjungannya. Kunjungi juga website kami di www.indoking.net(Kumpulan berbagai macam informasi terlengkap,terhits dan terupdates 2016)Terimakasih.